Saturday 22 September 2018

Seven Habits

Have you ever heard or even you have read The 7 Habits of Highly Effective People? It's a great book for you who want to be more effective to treat yourself and to treat others. I have attended a training a year ago, most of the material indirectly based on the seven habits. The seven habits consist of be proactive, begin with the end in mind, put first things first, think win-win, seek first to understand then to be understood, synergize, and sharpen the saw.

Do you know that The 7 Habits of Highly Effective People has been written in teens version and kids version? Sean Covey as the son of Stephen R. Covey wrote them as The 7 Habits of Highly Effective Teens and The 7 Habits of Happy Kids. Sadly I haven't read teens version. Here I want to tell you the seven habits from kids version. Don't underestimate it. Indeed it was written for parents or teachers to teach their kids, but from this book we can learn the seven habits from an easier angle. Find the fun for learn a new thing. Here we go.
  1. Be Proactive means you are in charge. For every little things in our life we are in charge. Just like when you're bored, you can make your own fun. You don't need others to make it happen. Just look around and think about it. You'll find something fun to do. So do your life.
  2. Begin with End in Mind. That means making a list for a day, a month, a year, a decade. With a list you know where you'll go then you know more what to do. Less time wasted of course. You should have planned ahead, as they saying goes, "A goal not written is only a wish". Planning ahead  always leads to good things. The sooner you finish your own, the more you have time to help others. 
  3. Put First Things First. You shouldn't procrastinate. Most of us are in trouble with this one. We are all somewhat addicted to doing the urgent thing or the easier thing first. I think it's okay to leave the "do the easier part first", sometimes we have to "do the hardest part first" to practice this third habit. As a wise person once put it, "Do what you have to do so you can do what you want to do". Work first, then play.
  4. Think Win-Win. Thinking win-win or always thinking about another as well as yourself. After all, life isn't just about me, and it's not just about you - it's about both of us. Everyone can win.
  5. Seek First to Understand then To Be Understood. For sure, the deepest need of the human heart's is to be understood. We're taught how to read, write, and speak. But we're not taught how to listen, which is the most important communication skill of all. Listening with our ears isn't good enough, because less than 10 percent of communication contained in the words we use. The rest comes from body language and the tone and feeling reflected in our voice. As Lily Skunk said to Jumper Rabbit in the book, "You have to listen with your heart and your eyes, not just your ears". Listen before you talk.
  6. Synergize. Valuing differences and then working together to create a better solution than what anyone could do alone. It is when 1 + 1 = 3 or more. Almost in every aspects of our life we met others. When we work in a team, we need each other. Indeed sometimes it's difficult working with others, but we can use synergy with starting focusing on each of our unique strength. Everyone has things that he/she is really good at. It's just Helen Keller once said, "Alone we can do so little, together we can do so much". Together is better. 
  7. Sharpen the Saw. This one means balance in life. As you have heard before, every good thing will be bad if the dose is excessive. So do our life too. We all feel better when we're balanced, when we take time to renew the four parts of who we are: body, heart, mind, and soul. And to be healthy and happy, all four parts need time and attention. Habit 7 - Sharpen the saw is all about finding that balance. Let us never be too busy sawing to take time to sharpen the was.
That's it. See what a simple way how the book tells us how to practice the seven habits. Let's be effective and happy people.

From one to seven, here's the thing :
  • Start with you - Be proactive, you are in charge - Begin with the end in mind, have a plan - Put first thing first, work first then play.
  • Then play well with others - Think win-win, everyone can win - Seen first to understand then to be understood, listen before you talk - Synergize, together is better.
  • And remember to take care of yourself - Sharpen the saw, balance feels best.


PS.
This article is taken from The Seven Habit of Happy Kids by Sean Covey. Most of words are its, not pure from my mind.

Saturday 15 September 2018

Hidup Minimalis

Tulisan ini berangkat dari mendengarkan Podcast-nya bang Iqbal Hariadi di Spotify 'Hidup Minimalis: 7 Hal Penting Dalam Hidup Yang Perlu Lo Kurangin' (di sini)

Menurut KBBI kata minimalis berarti berkenaan dengan penggunaan unsur-unsur yang sederhana dan terbatas untuk mendapatkan efek atau kesan yang terbaik. Dengan kalimat lain, minimalis berarti dengan sesuatu yang sederhana saja kita sudah bisa mendapatkan/membuat sesuatu yang terbaik.

Saya pribadi memaknai hidup minimalis sebagai hidup yang terisi dengan hal-hal yang kita butuhkan saja. Jadi hal-hal yang sekadar keinginan dinomorduakan. Sedangkan menurut Bang Iqbal Hariadi dalam prodcastnya, minimalis itu menyederhanakan. Jadi kalau kita punya lebih sedikit opsi tentang suatu hal maka akan memudahkan kita untuk fokus pada hal-hal yang paling penting (kurangi opsi-opsi yang kurang penting, fokus ke hal-hal yang paling penting). Tapi intinya sama, minimalis berarti sederhana. Yang sederhana itu yang gimana? Ya yang minimalis. Begitu aja terus sampai negara api menyerang. Wkwkwk.

Nah, di sini saya akan menulis ulang tips dari Podcast-nya bang Iqbal Hariadi, tujuh hal penting dalam hidup yang perlu kita kurangin untuk hidup minimalis.
  1. Less apps and less notification. Ini penting banget. Karena hidup kita nggak pernah lepas dari handphone. Dengan aplikasi yang online sepanjang waktu notifikasi bisa datang kapan saja. Padahal notifikasi-notifikasi yang datang juga belum tentu penting, bahkan lebih banyak dari Media Sosial, atau kalaupun dari aplikasi chat (WA misalnya) paling juga notifikasi grup yang bukan hal-hal urgent untuk ditindaklanjuti. Nah, coba deh teman-teman liat lagi aplikasi-aplikasi di handphone-nya, yang memang jarang dipakai atau bahkan sejak pertama di-install sudah nggak pernah dipakai lagi. Notifikasinya juga diatur lagi. Saya pribadi sudah lama mempraktikkan ini. Misalnya Game - biasanya iklan-iklan game banyak yang menggiurkan jadi  terbujuk untuk install padahal mainnya cuma sekali. Besok-besok udah nggak sempat. Sudah lima tahun terakhir saya hanya punya dua game di handphone yang jarang dimainkan. Sedangkan notifikasi aplikasi saya non aktifkan, kecuali Telegram karena dipakai kerja sehari-hari, dan Gojek (biar tahu go-food-nya sudah diantar apa belum. hehehe). Email, WA, SMS akan saya cek sewaktu-waktu. Notifikasi media sosial juga semua dinonaktifkan karena merasa nggak punya kebutuhan di situ. Dengan aplikasi dan notifikasi yang secukupnya sesuai kebutuhan, kita jadi lebih punya kendali terhadap apa yang mau kita lakukan. Hidup juga lebih tenang karena yang menyela lebih sedikit. 
  2. Mindless scrolling. Ini satu yang saya tandai terang-terang. Bold, Underline, Italic. Red. Hehehe. Karena ini yang kena banget ke diri saya. Mindless scrolling ini artinya kita scrolling updates dari akun-akun yang kita follow tanpa punya tujuan kita mau cari informasi apa. Sampai sekarang saya masih berjuang untuk meninggalkan mindless scrolling ini, khususnya di IG. Beberapa waktu lalu bahkan saya sempat menonaktifkan sementara akun IG untuk menghindari perilaku ini. Tapi jujur memang susah banget. Setelah 6 bulan nggak nge-IG dan ketika balik aktif akun lagi tetap saja masih mindless scrolling. Gambar memang selalu berhasil menarik perhatian. Menurut bang Iqbal Hariadi dari podcast-nya kita bisa mengawali kurangin Mindless scrolling ini dengan unfollow akun-akun yang nggak ngaruh sama hidup kita atau yang informasinya itu nggak related sama kebutuhan kita. Karena informasi yang banyak dan beragam akan bikin otak kita juga harus switching dari satu hal ke hal yang lain secara cepat. Jadi berasa otak kita penuh padahal penuhnya oleh informasi yang nggak penting juga buat kita. Malah informasi yang penting jadi tertutup sama yang nggak penting itu. 
  3. Less network/ less friendship dengan mengurangi network yang tidak penting. Ini terkesan sedikit sombong mungkin. Hehehe. Tapi nggak kok. Kita adalah gambaran dari teman-teman dekat kita (walaupun tidak seluruh diri kita juga, hehehe). Banyak teman itu baik. Pilih-pilih teman itu tidak baik. Tapi apakah iya kita mau buang-buang waktu dengan pertemanan yang sama sekali tidak menumbuhkan kita? Jadi pintar-pintarlah membawa diri ke dalam lingkaran pertemanan yang membaikkan. 
  4. Less eat. You are what you it. Makan yang sehat supaya tubuh sehat. Sebelumnya saya pernah membaca tentang hal serupa di Simple Life dari Desi Anwar tentang mengurangi konsumsi gula. Bahkan saya sempat mempraktikkannya, tapi tidak berhasil. Hehehe. Tapi ini penting teman-teman. Sebisa mungkin makan yang sehat, kurangi yang jelas-jelas nggak sehat.
  5. Less clothes. Untuk mengurangi pakaian saya setuju dengan bang Iqbal merekomendasikan buku dari Marie Kondo "The Life-Changing of Tidying Up". Dalam buku ini ada metode yang disebut Kon-Mari, dimana kita mengisi rumah, lemari, tas, koleksi buku-buku, sampai pakaian yang kita pakai hanya dengan yang membuat kita bahagia. Spark joy. Jadi kalau benda itu sudah tidak memberi "rasa bahagia" lebih baik dibuang atau disumbangkan. Ngomong-ngomong soal less clothes saya baru tau dari Podcast ini, bahwa orang-orang hebat di dunia yang selalu kita lihat tampil dengan baju itu-itu saja, ternyata alasannya ini ya - dengan punya lebih sedikit pakaian akan membuat kita lebih cepat memutuskan pakai baju apa, karena pertanyaan "hari ini pakai baju apa?" adalah pertanyaan yang sangat tidak perlu, waktunya bisa dipakai untuk memikirkan hal lain yang lebih penting. Selama ini saya berpikir alasannya adalah karena kesederhanaan orangnya saja. Ternyata maknanya lebih dalam. Wkwkwk. Mau dicoba.
  6. Less buying. Beli yang dibutuhkan saja. Daripada hanya menuh-menuhin rumah kan? Saya selalu ditawari oleh mbak-mbak Al*a untuk beli ini itu karena diskon, "Udah nggak usah mbak, saya gak makan Tan*o". Iya buat apa juga dibeli kalau tidak dipakai. Semurah apapun.  Hehehe. Dalam buku Marie-Kondo (nomor 5) juga ada bagian tentang less buying. Disarankan ketika membeli satu barang baru maka satu barang lama yang sejenis perlu dilepaskan. 
  7. Less complain. Hidup itu bukan untuk diprotes, tapi untuk dijalani. Kalau lancar bersyukurlah, kalau ada masalah diselesaikan sekaligus disyukuri juga berarti kita masih hidup. Untuk ini saya rekomendasi bukunya Mark Manson "The Subtle Art of Not Giving a F*ck".
Itulah tujuh hal-hal yang perlu kita kurangi untuk hidup minimalis versi bang Iqbal Hariadi dan saya setuju. Praktiknya boleh beragam dari mana karena itu tergantung pola hidup masing-masing. Intinya segala sesuatu yang berlebihan itu nggak baik.

Let's live simple. 


Only with Books You Love

Jadi kemarin akhirnya buku-buku yang sudah terbaca (juga yang belum terbaca), terpilih untuk meninggalkan rak buku, sudah menemukan pemilik barunya, dan semoga memberi nilai.

Dulu saya punya cita-cita, punya perpustakaan dimana buku-bukunya sudah saya baca semua. Sekarang saya punya cita-cita, punya perpustakaan dimana buku-bukunya saya sukai semua. Disukai berarti sudah dibaca, disukai berarti membahagiakan. 

Cita-cita itu berubah karena bukunya Marie Kondo "The Life-Changing of Tidying Up". 

We read because we want to experience reading. If we've read a book once, we've experienced it. Even if you don't remember it well. It's still inside you. For book lovers, a room stacked with books seems like a dream come true. But it's quite likely that some of those books have already fulfilled their purpose. Imagine a bookshelf filled only with books you love. Isn't that the ultimate dream come true?

Do you have unread books that youu intend to read "someday"? Believe me, "Someday" never comes.

Begitulah sekiranya latar belakang dari pemindahan kepemilikan buku-buku kemarin itu. Hal lainnya adalah untuk belajar melepaskan. Buku-buku saya berikan pada teman, dari situ saya belajar melepaskan. Melatih hati untuk melepaskan dari hal-hal yang sederhana. Akhirnya ada ruang kosong lagi untuk meletakkan yang baru, di rak buku, di hati juga. 

Siapa yang tahu, kalau dari salah satu buku-buku yang dilepaskan itu ada seseorang yang menemukan dirinya yang baru.

Bacaan Pagi Ini

Buku : Bertumbuh
(Satria Maulana - Kurniawan Gunadi - Iqbal Hariadi - Mutia Prawitasari - Novie Ocktaviane Mufti)

Pagi ini menang melawan malas, keluar bertemu stranger.
Mengolah raga dengan berlari, mengolah hati dengan "Bertumbuh".

Jadi kesimpulan baca cepat pagi ini adalah..
  1. Menata. Orang cerdas itu pandai menata hidup, bisa menata hatinya (Hal. 8)
  2. Pindah - Move on. Mungkin karena kita kurang bersyukur atas perasaan yang kita punya - termasuk perasaan yang tidak nyaman, sehingga susah move-on-nya. Move-on itu, seharusnya seperti saat kita buang air. Setelah hajatnya selesai, tidaklah terpikirkan oleh kita seberapa enak makanan dan minuman itu awalnya - atau seberapa mahal, sampai-sampai rasanya begitu sayang untuk kita buang (120)
  3. Sederhana. Kesederhanaan yang sesungguhnya adalah ketika kita bisa memiliki yang kita inginkan, tetapi hanya memilih yang kita perlukan (146).
  4. Kebaikan hati. Kebaikan yang hanya hati kita (dan Allah) yang mengetahuinya. Bersyukur, bersabar, ikhlas, memaafkan, menahan amarah atau rasa sedih. Pastikan bahwa ada kebaikan-kebaikan dari diri kita, setiap hari (158)
  5. Berbahasa. Berbahasa yang baik, yang jujur namun mengenal batas-batas (189).
  6. Apa kabar. Maksudnya, apa kabar yang tulus saja, bukan apa kabar karena penasaran, melainkan karena sungguh-sungguh peduli. Banyak-banyaklah bertanya apa kabar - yang tulus. Sebab saat kamu mengira orang-orang datang dan pergi dalam hidupmu, sesungguhnya kamu pun sedang datang dan pergi dalam hidup orang-orang itu (198)
Jadi, yuk menata lagi, cara move-on -nya diperbaiki, sederhana saja, jangan lupa pastikan hari ini ada kebaikan dari diri kita, kecil saja dengan berbahasa yang baik, lalu jangan lupa tanyakan pada teman yang kau temui, "Apa kabar"?


PS.
Semua kesimpulan di atas (1 - 6) dikutip dari tulisan Mutia Prawitasari dalam Bertumbuh (bukan kata-kata saya sendiri)

Sunday 9 September 2018

Bertemu Orang Baik

Bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik.

yang sekedar lewat mengajarkan keramahan
yang datang dan singgah sebentar menyelip makna
yang datang dan tinggal lama menjadi teman perjalanan
yang datang dan tinggal lama tapi kemudian harus pergi memasangkan pertemuan dengan perpisahan
yang datang dan tinggal selamanya untuk menjadi teman hidup #uhukuhuk (dilarang batuk wkwkw)


Minggu ini bangun lagi mengejar mimpi karena diingatkan 3 orang baik. Terima kasih. Semoga sibuk nggak membuat kita lupa sama mimpi-mimpi yang sederhana. Karena yang dikejar bukan mempunyai bahagia tapi menjadi bahagia. Tapi balik lagi yang paling penting bermanfaatnya, sekecil apapun.


Good people practice kindness. And practice makes perfect.
-Diana Rikasari-

Menerima Kesedihan

Berbicara soal emosi atau perasaan manusia, pernah nonton film aminasi Inside Out kan? Di film itu ada lima tokoh yang mewakili emosi/perasaan Riley (sang tokoh utama), yaitu Joy (bahagia), Sadness (sedih), Fear (takut), Disgust (jijik/sombong/tidak suka), dan Anger (marah). Kelimanya tinggal bersama di satu tempat, di dalam diri Riley. Di antara lima perwakilan emosi itu, Joy adalah pemeran utamanya. Iya, Riley adalah anak yang ceria, selalu bahagia. Di awal cerita Joy menyebutkan peran masing-masing emosi itu bagi hidup Riley, dan sayangnya menganggap Sadness tak punya peran baik, ya dia hanya sebuah kesedihan. Menurut Joy, mereka semua bersama Riley akan baik saja tanpa Sadness.

Tapi apa iya "kesedihan' memang tidak punya peran buat kita? Apa iya "kesedihan" tidak perlu ada agar kita bahagia saja terus-terusan?

Setiap manusia terlahir sepaket jiwa dan raga. Raga adalah fisik kita, dan jiwa adalah perasaan/emosinya. Bahagia, sedih, marah, dan lainnya. Semua perasaan/emosi itu berperan. Saat menyukai yang terjadi kita bahagia, saat yang terjadi bukan yang kita inginkan kita sedih, bahkan bisa jadi kita justru marah. Singkatnya, coba bayangkan saja, kalau perasaan yang kita miliki hanya kebahagiaan saja, apa mungkin sepanjang waktu kita terus-terusan tertawa dan senyum-senyum? Wkwkwk. Tapi intinya bukan itu. Setiap emosi itu berperan untuk kita mengekspresikan perasaan kita atas sesuatu yang kita alami. Dalam hidup semuanya silih berganti, apa yang kita lakukan selalu ditujukan mencari bahagia. Kenapa bukan kesedihan atau kemarahan atau perasaan-perasaan lainnya? Karena rasanya nggak enak. Yang enak adalah kebahagiaan. Tapi terlepas dari kendali kita, sedih ataupun marah tentu saja bisa terjadi. Dan sama halnya seperti kebahagiaan yang diekspresikan, sedih maupun marah juga perlu diekspresikan. 

Sedih dan marah memang emosi negatif. Keduanya erat dengan ketidaksesuaian, kekecewaan, menangis, putus asa, kekesalan, penyesalan, dsb. Namun seperti halnya kaki kanan dan kaki kiri yang menyeimbangkan tubuh kita. Emosi negatif juga penyeimbang emosi positif bagi manusia. Tentu saja dengan kadar dan cara yang tepat. Orang yang positif bukan berarti hanya ada kebahagiaan saja di dalam dirinya. Sedih, kecewa, marah juga tentu saja ada. Tapi dia tahu cara positif mengekspresikan perasaan negatifnya. Dalam film Inside Out ini, konflik dimulai ketika Riley dan keluarganya harus pindah ke San Fransisco. Kehidupan Riley pun berubah, terjadilah konflik batin dalam diri Riley.

Joy ingin Riley bahagia. Dia bersedia melakukan apapun agar Riley bahagia, bahkan dengan meninggalkan Sadness. Menurutnya Sadness buruk bagi Riley. Sampai akhirnya Sadness sendiri putus asa dan berusaha lari karena merasa hanya membuat hidup Riley semakin buruk. Kalau dibawa ke dunia nyata kita sebagai manusia, keadaan ini sama dengan saat kita sedang sedih, tapi kita tidak mau mengaku sedih, hanya terus berusaha (pura-pura) bahagia. Kisah Inside Out ditutup dengan Joy yang sadar bahwa Sadness-lah yang bisa menyelesaikan masalah yang dialami Riley. Iya, Riley memang sedih. Tapi dia pura-pura bahagia karena tidak enak pada orang tuanya, takut membuat mereka kecewa. Riley akhirnya mengakui kesedihannya. Setelah itu semuanya perlahan membaik dan membahagiakan. Kelima emosi/perasaan pun, Joy, Sadness, Disgust, Fear, dan Anger, bersama berdampingan berperan dalam kehidupan Riley.

Nah, sama halnya dalam kehidupan kita sehari-hari, apabila yang terjadi tidak sesuai, membuat kecewa, membuat sedih, maka hal pertama yang seharusnya kita lakukan adalah 'terima'. Kita tidak harus tidak pernah sedih untuk jadi orang yang positif. Akui bahwa hal itu memang membuat kita kecewa. Sedih ya udah sedih aja. Mau nangis ya udah nangis aja. Jangan ditunda-tunda (tapi tetap pada tempatnya yaa, tahulah gimana, wkwkwk). Nggak perlu sok tegar. Menangislah sebanyak yang hati kita ingin tangisi. Menangis karena sedih itu wajar kok. Kan manusia. Kalau kata Sadness, "Menangis membantuku untuk mengurangi beban hidup". Hehehe. Iya, biarkan kesedihan itu luruh bersama air mata #ciee. Selesaikan kesedihan itu segera sampai tuntas, sehingga besok-besok kamu nggak balik lagi menangisi hal yang sama. 


##88LoveLife_14


Saturday 1 September 2018

Satu Paket dan Bonusnya


Bersama Kesulitan selalu ada Kemudahan.

Minggu ini banyak twist.

Bulan Juli lalu saya sempat meng-handle sebuah event cukup besar di kantor. Dibantu teman-teman yang super baik dan sangat total. Dengan jumlah panitia yang jauh lebih sedikit dari kebutuhan, semua ter-handle dengan cukup baik meskipun setiap kami harus rela switching ke sana ke mari mengerjakan yang bukan job desk kepanitiaan. Tapi dengan ijin-Nya semua selesai juga, tantangan memang selalu sepaket dengan kemampuan yang ditantang, selama kita bersedia berupaya.

Tapi di akhir euforia selesainya event itu, saya tersadarkan bahwa ada masalah lain, masalah ‘besar’ yang saya lewatkan. Saat itu sudah tidak ada yang bisa saya lakukan. Sedih sekali, karena sesungguhnya masalah itu bisa hindari kalau saya ‘tidak lupa’. Dan apa yang paling menyesakkan? Saat masalah orang lain terjadi karena andil kita. Dan itu yang terjadi. Masalah ini bisa berpeluang besar membuat nilai kinerja atasan saya drop, termasuk nilai kinerja saya. Terlebih lagi penyebab masalahnya adalah ‘kelupaan’. Kalau persoalan kompetensi atau dari hal lain di luar kendali, bisa jadi ini tidak gawat. Memikirkannya hanya bisa menangis, menyesal kenapa bisa sampai lupa, dan bingung harus bagaimana.

Tapi saya haru menyelesaikan masalah ini. Iya, saya harus bertanggung jawab. Tapi bagaimana? Masalahnya seperti tidak ada solusi selain diterima apa adanya. Satu-satunya pertanggungjawaban yang saya tahu adalah ‘minta maaf’. Tapi itu tidak akan cukup. Sambil memikirkan alternatif solusi yang mungkin, saya memutuskan menghadap atasan segera, meminta maaf, dan mengajukan solusi apa yang masih mungkin diambil (Alhamdulillah masih ada pilihan Allah ingatkan).

Lebih cepat meminta maaf lebih baik. Responnya positif atau negative setidaknya akan lebih lega saat kita sudah tau yang terjadi. Saya pun menghadap atasan saya. Takut-takut menyampaikan, mencoba berbahasa sebaik mungkin. Semoga ketidaksengajaan saya akan masalah itu terbaca oleh beliau. Dan pada saat itu saya melihat kekecewaan dari respon atasan saya. Saya akui saya memang salah. Alhamdulillah permintaan maaf saya dan usulan penyelesaian yang saya ajukan diterima atasan saya. tapi masalah ini belum selesai. Tantangan lebih berat adalah yang berikutnya. Yaitu sendirian meminta maaf dan meminta persetujuan dari biggest boss hehe (re: Bapak).

Bagian ini lebih seru. Sebelum menghadap Bapak saya berkali-kali latihan tentang apa yang akan saya katakan nanti. Saya akan mengatakan yang sebenarnya. Apapun konsekuensinya. Tapi saya juga tidak ingin ketidaksengajaan saya menghapus semua keringat yang saya dan teman-teman keluarkan untuk event tersebut. Jadilah latihan saya bukan hanya menyampaikan permintaan maaf tapi juga dengan sesi curhatnya. Baru latihan aja air mata saya sampai menetes. wkwkwk. Saat itu saya juga tidak henti-hentinya berkali-kali mengulang doa, mempertegas permintaan, menguatkan saya, juga semoga Allah melunakkan hatinya Bapak, dan di atas semua itu semoga hati saya diluaskan agar menerima apapun yang terjadi nanti. Bahkan masih sempat bercanda dengan sekretaris bapak, “Jangan heran kalo sebentar keluar dari ruangan bapak senyum ini sudah hilang, dan matanya basah air mata”, canda saya seperti itu.

Setelah itu saya langsung mengetuk pintu ruangan Bapak, masuk, duduk manis. Bapak juga menyambut baik, duduk di kursi seberang mejanya. Seperti biasa suasana di ruangan itu selalu santai (Oiya saya dan Bapak itu bisa dibilang ‘sahabat’. Karena bapak adalah tipe pimpinan yang hangat dan bijak. Saya sering berdiskusi dengan bapak, dari hal paling serius sampai yang paling receh sekalipun. Jadi seharusnya saya tidak perlu takut sedikit pun. Tapi kali ini berbeda. Hehehe. Selanjutnya takut-takut saya mulai membuka suara. Menyampaikan apa masalah yang terjadi dari A sampai selesai. Bapak, seperti biasa, dengan tenang mendengarkan. Saat saya selesai (ini bagian yang paling menegangkan),

Bapak, “Jadi maunya Noe bagaimana?”
Saya, “sebenarnya ini bisa diselesaikan seperti ini saja, Pak.. tapi.. apakah boleh, Pak?
……
……
……
Note: sebenarnya solusi yang saya ajukan ini adalah hal yang sudah kami sepakati bersama tidak akan dilakukan di tahun ini (hehehe). Bagaimana mungkin saya dengan percaya diri mengatakan mau melakukan cara itu.

Bapak, “ya sudah, itu saja”.
Saya, “Hah?”.

Seperti tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Saat itu kalau boleh saya pasti sudah loncat-loncat saking senangnya. Kemudian Bapak lanjut menyampaikan beberapa hal lain yang bisa saya lakukan untuk masalah ini. Fiuuuh. Leganya. Terima kasih ya Allah, Engkau jadikan Bapak ini bijak sekali.

Saya, “Alhamdulillah, terima kasih, Pak..”
Bapak, “Lain kali hati-hati.. kamu diberi surat teguran nanti”
Saya, “Nggak apa-apa, Pak.. saya memang salah”.

Iya, sungguh. Kalaupun saya benar diberikan surat teguran, tidak apa-apa. saya tau bahwa saya melakukan kesalahan. Saya hanya ingin masalah yang saya buat tidak menjadi masalah untuk orang lain. Tapi Alhamdulillah memang tidak diberi surat teguran. Wkwkwk.

Selanjutnya bisa kalian bayangkan, di sekeliling saya kalau ini dalam scene film kartun tentu sudah dipenuhi bunga-bunga beterbangan. Hehehe. Saking bahagianya. Hal yang benar-benar tidak saya duga terjadi. Awalnya saya berpikir masih ada harapan bapak menyetujui usulan saya, tapi tidak semudah yang terjadi itu. saya pikir bapak mungkin perlu diberikan beberapa alasan dan pertimbangan untuk sampai menyetujuinya. Ternyata tidak perlu. Semuanya sesederhana itu. Terima kasih ya Allah.

Kemudian apa yang saya pelajari dari kejadian itu? Banyak. Pertama, tentang penerimaan. Terima bahwa diri kita, sebaik apapun sudah berusaha, kesalahan tetap bisa terjadi. And that’s not too bad. Ayo belajar lagi. Kedua, tentang hati-hati dan rendah hati untuk minta bantuan kalau memang tidak bisa sendiri. Di saat riuh pekerjaan kita bisa saja kehilangan fokus karena yang dikerjaan terlalu banyak. Jangan ragu untuk minta bantuan orang lain. Jangan sok jago. It’s ok to ask help, it doesn’t mean you’re weak.

Ketiga, tentang berani bertanggung jawab, mengakui kesalahan. Tau nggak sih, saat itu saya takut sekali. Takut mengecewakan atasan yang percaya sama saya. Sempat terpikir bagaimana agar masalahnya selesai tanpa harus atasan tahu. Dipikir berkali-kali, saya putuskan harus tetap melakukan hal yang benar. Being brave meant you were scared, really scared, badly scared, and you did the right thing anyway (Neil Gaiman).

Keempat, tentang tidak menyerah. Saat itu saya bisa saja menyerah begitu saja, minta maaf mungkin cukup. Apalagi yang bisa saya lakukan? Semuanya sudah terjadi. Kemungkinan solusi yang bisa diambil seperti benar-benar tidak ada lagi. Tapi kesempatan untuk mencoba selalu ada, jadi lakukan saja dulu yang mungkin. Akhirnya bagaimana itu bukan milik kita, tapi milik-Nya.

Dan yang terpenting adalah tentang berprasangka baik, yang berarti kita percaya bahwa Tuhan menghadirkan masalah sepaket dengan penyelesaiannya, bahkan bonus pelajaran juga. Karena sehebat apapun kita, hasil akhir bukan milik kita. Sesederhana apapun keadaan, Tuhan bisa membalikkannya dengan mudah. Kita yang merasa hebat seketika dilemahkan. Keadaan yang sederhana sekejap dirumitkan. Tapi bersama kesulitan selalu ada kemudahan.


Indeed trouble is a friend. It makes us live.

Sunday 26 August 2018

Pelajaran Beruntun

Tiba-tiba ingat beberapa kejadian, beruntun beberapa. Hatinya jadi tidak enak. Tapi juga tidak bisa melakukan apa-apa. Eh ada yang bisa, terima, biarkan waktu yang bawa pergi.

Saya selalu senang belajar dari orang lain. Belajar dari kehidupan orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, dari yang paling dekat dan bisa tersentuh seperti Bapak dan Ibu di rumah. Dari film dan lagu yang dalam layar dan udara yang tidak tersentuh. Dari mereka yang berlalu lalang di depan belakang kita. Sampai kucing imut yang sekedar lewat. Kadang dari hal-hal sederhana kehidupan di luar, kita justru menemukan alasan untuk kita menerima masalah kita. Semua pasti ada penjelasannya, pasti ada alasan baiknya. Cuma belum waktunya saja.

Nah, sekarang saya mau cerita.

Pertama, kemarin berteman sangat dekat sama seorang teman, dari pertemanan itu saya belajar, satu, Tuhan Maha membolak-balikkan hati, jangan ragu sedikit pun soal itu.  Kebanyakan kita tahu fakta itu, tapi masih sering lupa sehingga jadi memaksakan permintaan ke Allah, maunya sekarang. Padahal proses-Nya Allah selalu bisa bikin kita belajar. Iya, belajar sabar. Dan lulus itu bukan ukuran kita, tapi ukuran-Nya Allah. Percaya saja kalau sudah waktunya, pasti berganti kok.

Dua, hidayah Islam itu nikmat tidak terhingga (maaf ini bagi yang muslim yaa..). Islam itu bisa ada di KTP kita, sudah diakui Allah sebagai keimanan, Insyaallah. Tapi hal lain lagi dengan menjadikan Islam itu sebagai kehidupan kita. Saya bukan anak pesantren, dan juga masih belajar memperdalam pemahaman agama. Tapi saya ingin bilang ini ke kita semua, kalau kamu, saya, kita, seorang muslim yang sudah otomatis Sholat 5 waktu tidak perlu diingatkan, puasa ramadhan sudah otomatis sahur tidak sahur pasti puasa, sakit pun selama belum sekarat-sekarat banget tetap mau puasa, maka bersyukurlah sebanyak mungkin sama Allah. Jaga nikmat hidayah itu baik-baik. Karena banyak di luar sana, ada, yang sholat dan puasa yang wajib itu masih susah banget. Bukan karena dia belum tau sholat itu wajib, puasa itu wajib. Bukan dia nggak tau tentang konsekuensinya. Tapi hidayah itu belum ada di hatinya. Allah belum kasih. Semoga kita semua selalu didekatkan hatinya pada-Nya yaa. Amiin.

Kedua, beberapa waktu lalu sempat kolaborasi pekerjaan sama teman, tidak cukup lama, tapi saya cukup belajar. Hati-hati sama perasaan 'merasa paling'. Paling sibuk, paling susah, paling sedih, paling pintar, paling banyak tugasnya, dan paling-paling yang lainya. Juga paling gendut #eh. Karena ukuran cukupnya manusia itu belum tentu benar. Kadang kita merasa tugas kita cukup segini saja seharusnya, yang lain bahkan tugasnya lebih sedikit. Ya, itu menurut pandangan kita. Karena mata kita 2 dan kita tidak bisa melihat semua sisi secara bersamaan. Di luar sana, banyak banget teman-teman yang tugasnya jauh lebih banyak daripada kita. Jangan keseringan melihat ke dalam, sekali-kali buka jendela lebar-lebar, atau sekalian buka pintu jalan ke luar. Pergi lebih jauh, lihat lebih dekat, rasakan lebih banyak. Semua itu akan menjadi nilai tambah untuk diri kita. Entah itu ilmu atau pengetahuannya, sabarnya, cara berpikir, cara mengambil keputusan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya.

Ketiga, dua bulan kemarin, Juni-Juli, sempat mengambil alih tugas teman, membantu. Saat itu seketika saya sadar, saya belajar, satu, betapa nikmatnya waktu luang. Nah ini juga yang membuat saya ditegur dengan perasaan 'merasa paling'. Berangkat pagi, pulang malam, Sabtu-Minggu juga. Kalau bernapas itu tidak otomatis, mungkin saya juga sudah lupa napas. Hehehe. Saat itu semua perasaan campur aduk, dari senang (karena bisa), semangat (karena belajar yang baru lagi, dapat teman baru juga), seru (karena hectic tidak berhenti-berhenti, tau-tau saja sudah gelap, hehe), takut & ragu-ragu (saya juga masih perlu belajar banyak, tapi harus memutuskan cepat) bersyukur (karena dipercaya, sama Allah dan teman-teman), sampai sedih dan ingin menangis tapi nggak sempat (saking hectic-nya, pulang kerja tepar aja yang mampu dilakukan). Eventually, see, I did it. Tuhan memang pasti tepat menempatkan. Menempatkan orangnya, pada waktunya dan pada keadaannya. Kita bisa. Jangan lupa berdonasi kitabisa.com #loh.

Dua, bersyukur selalu, dipercaya itu mahal. Dalam keadaan sempit pekerjaan menggunung sekalipun. Ada orang-orang yang waktunya luang, tugasnya tidak sebanyak kita, tapi bukan karena tugasnya cepat selesai karena sudah expert mengerjakannya, tapi (maaf) karena tidak dipercaya. Kalau kita banyak tugas, kemudian sempat membenak, "kok saya lagi, saya terus", berhenti sekarang juga. Dipercaya itu tidak mudah. Dipercaya itu mahal.

Ketiga, sehat itu harta tidak ternilai, saking mahalnya. Ya, tidak ada seorang pun yang ingin sakit. Tapi kita tidak pernah tahu kapan Tuhan menguji kita dengan sakit. Karena sakitnya kita juga bisa berpengaruh ke kehidupan orang lain. Orang tua dan saudara yang khawatir dan harus menjaga. Teman-teman juga. Momen yang terlewatkan. Kesempatan yang tertinggal. Jaga kesehatan ya kita semua. 


Tiga cerita yang terjadi bersamaan dalam 4 bulan terakhir. Jujur saja cukup menguras perasaan. Cukup sisi positifnya saja yang dibagikan. Drama-drama baper, kesal, dan putus asanya? Ada bangettt. Tapi saat itu saya nggak punya cukup waktu untuk menghayati. Karena banyak hal yang harus diselesaikan. Kalau bapernya dibiarkan menang, apa kata dunia? Professional is not baper. Pada waktunya semua terlewati juga. Tinggal dipanjang-panjangkan lagi sabarnya. Diluas-luaskan lagi hatinya. Semuanya akan berlalu. Hari akan berganti. Dan kemudian selesai. Semoga kita tidak lupa belajar. Harus ada makna dari setiap perjalanan.

Everything shall pass.


Friday 24 August 2018

Happiness is..

Buku Happiness is
(Lisa Swerling & Ralph Lazar)


"Mempermudah hidup orang lain", salah satu dari 500 hal-hal sederhana yang membuat bahagia menurut buku Happiness is. Pada saat sampai di halaman ini, bengong, terkesima sejenak, dicerna. Loading sebentar, kemudian bilang ke diri sendiri, "Iya yaa.." 

Bahagia itu mempermudah hidup orang lain. Tidak harus hal yang besar, hal kecil sekalipun, semisal berbagi sepotong coklat, ataupun sesederhana menggurat senyum agar yang melihat juga ikut tersenyum. Memaklumi kesalahan-kesalahan kecil yang tidak disengaja. Tertawa untuk lelucon yang tidak lucu. Memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang terpaksa melewatkan yang pertama. Mewajarkan kelupaan. Memaafkan ketidaktahuan. Happiness is make someone’s life easier.

Masih ada 499 hal lain di buku Happiness is yang sederhana tapi iya bikin bahagia. Dan rasa-rasanya semua kita alami setiap hari. Membacanya bikin kita senyum-senyum sendiri, sambil bilang, "Iya ya, mi instan saja sudah bikin bahagia kok."


Bahagia itu sederhana.

Thursday 23 August 2018

Be Brave

That being brave didn't mean you weren't scared. Being brave meant you were scared, really scared, badly scared, and you did the right thing anyway.
-Caroline, Neil Gaiman-

Ketakutan itu wajar. Toh kita ini makhluk hidup yang merasakan. Asalkan kita jangan berhenti pada ketakutan itu. Ada yang bilang seperti ini, "Suatu hari nanti kita lebih banyak menyesali hal-hal yg kita putuskan tidak lakukan, daripada menyesali hal-hal yang kita putuskan untuk lakukan". Ya benar juga sih. Tidak perlu suatu hari nanti. Tanya saja diri kita sekarang. Ada berapa banyak penyesalan karena melewatkan kesempatan. Karena ragu-ragu kemudian terlewatkan.

You may be scared, really scared, badly scared, but do the right thing anyway.

Saya bukan seorang pemberani. Ini, ayo. Itu, ayo. Saya tipe pemikir, super introvert. Banyak hal dipikirkan berkali-kali. Tapi membiarkan tanggung jawab tidak dipertanggungjawabkan itu bukan pilihan. Karena bagi saya bentuk paling sederhana dari sebuah keberanian adalah memegang kendali pada setiap tanggung jawab kita. Tidak perlu jauh-jauh dulu harus berani melawan korupsi di negeri ini. Tidak perlu jauh-jauh dulu ke pelosok negeri menjadi relawan. Tidak perlu ekstrim berani menyeru ganti presiden. Semua itu memang pakai keberanian. Be brave enough to play your role.

Oiya, sudahkah kalian membaca novel Coraline? A simple fantasy children book that tells you that you will always to choose to be brave. Karena musuh paling depan dari ketakutan adalah diri kita sendiri. Kita sendiri yang memutuskan berani atau tidak. Kita sendiri yang menjadikan diri kita berani atau takut.

Tapi ingat ya ada yang perlu hitung-hitungan juga. Jangan berani makan cabe sekilo kalau sudah tahu tidak sanggup. Hahaha. Dan saya tidak berani.

Mensyukuri Kemarin

Tahun segera beranjak. Sebelum berharap-harap banyak di tahun besok, jangan lupa mensyukuri hari ini dan kemarin yang telah menjadi bagian dari hidup kita.

Bersyukur karena kita diberi kesempatan menambah catatan sederhana sejarah hidup kita, sampai hari ini. Bisa jadi tanpa kita ketahui dan sadari, kita juga telah menjadi bagian dari sejarah baik hidup orang lain. Semoga kesempatan itu datang lagi di tahun berikutnya.

Bersyukur atas kehadiran-kehadiran, karenanya kita menjadi kuat. Allah yang memberikan segalanya. Keluarga yang selalu menyemangati dan menjadi alasan untuk terus berlari. Sahabat yang selalu membersamai. Mereka yang mendoakan dan mengharapkan kita memperoleh yang baik-baik. Juga mereka orang-orang asing yang bisa jadi kehadirannya tidak kita sadari namun memberi arti.

Bersyukur atas kesehatan, karenanya kita mampu dan sampai di titik ini.

Bersyukur atas pertemuan-pertemuan, karenanya kita belajar lagi. Yang baik mengajarkan untuk menjadi baik dan lebih baik lagi. Yang kurang baik, mengajarkan agar kita tidak menjadi seperti itu.

Bersyukur atas perpisahan-perpisahan, karenanya kita kaya akan pemahaman. Perpisahan mengajarkan kelapangan hati untuk mengijinkan kepergian beranjak, dan memberikan ruang bagi yang akan datang. Karena tidak ada yang akan tinggal selamanya.

Bersyukur atas masalah, karenanya kita bertumbuh dan belajar.

Bersyukur atas kesibukan-kesibukan, karenanya semoga kita semakin berdaya guna, dan ternyata kita mampu berbuat sesuatu.

Bersyukur atas kemauan berbagi, karenanya kesempatan bagi kita untuk bermanfaat bagi yang lain. Sadarkah kita bahwa perasaan ‘mau berbagi’ itu juga anugerah? Nyatanya tidak semua orang yang mampu, mau berbagi bukan? Bisa jadi di tangan kita, ada titipan mewujudkan impian orang lain.

Bersyukur atas kemampuan berbagi, karenanya kesempatan bagi kita untuk nyata bermanfaat bagi yang lain. Semoga dari tangan kita ada impian-impian orang lain yang terwujud.

Bersyukur atas banyak kesempatan-kesempatan lain, karena dengan kesempatan kita menjalani hidup. Kesempatan mengabdi pada-Nya, kesempatan berbakti pada orang tua, kesempatan berbagi, berbuat, kesempatan bertemu orang-orang baru, bertemu buku-buku baik, membaca bacaan-bacaan menarik, kesempatan diberikan nasihat-nasihat bijak. Kesempatan untuk belajar dan bertumbuh. Kesempatan mewujudkan impian. Bahkan kesempatan untuk bermimpi. Dan masih banyak lagi kesempatan yang mungkin tidak kita sadari, malah justru kita lewatkan dan sia-siakan.

Kita akan menutup hari ini dengan bersyukur, lalu menyambut esok juga dengan bersyukur.

Semoga tahun berikutnya, kita terus belajar dan bertumbuh. Semakin banyak memberi manfaat.

Makassar, 31 Desember 2016.


Iya, ini catatan penutup tahun. Pernah di-posting di noediane.tumblr.com. Walaupun catatan penutup, tidak masalah kan di posting kembali di tengah tahun. Karena bersyukur itu selalu.

Jangan lupa bersyukur yaaa

Kembali

Hari ini kembali ke rumah lama.

Pindah itu belum tentu ke tempat yang lebih baik. Tapi pasti untuk tujuan yang lebih baik.
(Teman Imaji, Prawita Mutia)

Sebenarnya sudah satu tahun terakhir jadi jarang menulis. Alasannya ada tiga. Satu, setelah Mei 2017 lalu ikut sebuah pelatihan self improvement saya merasa butuh waktu untuk melihat kembali nilai-nilai diri saya, terutama tentang apa yang saya bagikan ke Media Sosial, yang dibaca orang lain. Jadi menulis lebih hati-hati. Waktu itu masih selalu menulis tapi tidak dibagikan, disimpan di Notes HP.

Alasan nomor dua, HP saya cleaned-up. Ini menyedihkan sekali. Berasa seperti kehidupan di-reset ulang. Bukan karena saya se-addict itu terhadap HP. Tapi karena itu HP baru dan semua isinya belum ada back-up. Termasuk tulisan-tulisan dan catatan-catatan baru. Sejak itu, setiap kali mencoba menulis selalu teringat dengan tulisan-tulisan yang hilang itu. Dan tahukah, saya termasuk orang yang tidak bisa (sangat sulit) menulis sesuatu yang sama dua kali.

Alasan nomor 3, saya banyak alasan. hehehe. Karena saya merasa nyaman berbagi hanya di Tumblr saja, dan berhubung sejak Maret lalu Tumblr diblokir oleh Kominfo, jadi niat menulisnya semakin menyusut. Berharap satu dua hari ke depan blokir Tumblr dibuka kembali. Sayangnya sampai hari harapan saya masih harapan.

Jadi hari ini, kita pindah.

Saya dan tulisan-tulisan saya kembali ke rumah lama ini. Rumah lama yang dibangun dengan semangat 45 saat saya masih 19 Tahun. Sabar sekali rumah ini menunggu pemiliknya kembali. 

Bagi saya menulis itu belajar. Belajar dari kehidupan yang saya miliki. Belajar dari waktu yang saya lalui. Belajar dari kesempatan yang menghampiri.


Wednesday 20 June 2018

Book of Life

I just closed an old book

Then I just open a new one

20th Juni 2018

 
Copyright (c) 2010 The Little Notes. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.